Karya sastra terdiri atas 2 jenis, yaitu prosa dan puisi. Biasanya prosa disebut karangan bebas, sedangkan puisi disebut karangan terikat. Akan tetapi, pada waktu sekarang, para penyair berusaha melepaskan diri dari aturan yang ketat itu hingga terciptalah sajak bebas. Dalam sastra Indonesia ada 2 istilah puisi dan sajak. Puisi dalam bahasa Inggris poetry dan sajak dalam bahasa Inggris poem. Puisi adalah jenis sastra, sedangkan sajak adalah individu puisi. Oleh karena itu, kedua istilah itu jangan dicampur adukkan pemakaiannya. Korespondensi dan periodisitas merupakan bentuk normal sebuah puisi. Bahkan puisi Pujangga Baru masih ada yang terikat pada korespondensi dan periodisitas. Puisi baru modern menyimpangi pengertian puisi menurut pandangan lama. Puisi baru tidak terikat oleh bentuk-bentuk normal, korespondensi, dan periodisitas itu. !leh karena itu, puisi baru (modern) disebut puisi bebas atau sajak bebas. Bentuk-bentuk normal puisi lama sesungguhnya merupakan sarana-sarana kepuitisan untuk membuat puisi menjadi indah. Bentuk-bentuk normal itu masih juga dipergunakan oleh puisi modern, tetapi bukan merupakan ikatan, bukan merupakan pola yang tetap. Puisi baru sesungguhnya terikat juga, tetapi terikat oleh hakikatnya sendiri, bukan terikat oleh pola-pola bentuk normal. Pola-pola bentuk normal bukan merupakan hakikat puisi.
Puisi adalah karya seni. Sifat seni ini merupakan ciri khas puisi. Puisi adalah sebuah karya yang fungsi estetiknya atau fungsi keseniannya dominan. Aspek estetik ini bermacam-macam. Di antaranya gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat serta wacana. Bahkan, aspek estetik itu terwujud dalam bentuk tipografinya. Puisi itu sebuah pernyataan yang hanya mengedepankan inti gagasan, pemikiran,ataupun peristiwa. Oleh karena itu, dipilih kata, frase, dan kalimat yang setepat-tepatnya supaya puisi menjadi padat. Hal-hal yang dirasa tidak perlu dihilangkan. Dengan demikian tinggal intinya yang mengandung ekspresivitas yang itensif (berdayaguna). Dari waktu ke waktu, puisi itu selalu berubah karena evolusi selerah dan perubahan konsep estetik atau konsep keindahan. Ketidak langsungan ekspresi itu disebabkan oleh 3 hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, penciptaan arti. Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam sajak. Penyimpangan arti disebabkan oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian ruang teks, diantaranya berupa (pola), persajakan, ejambemen, tipografi, dan homologue. Pada makalah ini kami akan melaukakan analisis puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”, dari segi landasan tumpu, Tema, dan analisinya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
Landasan tumpu pada analisis puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”.
Tema pada puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”.
Bahasa yang terdapat pada puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”.
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan tujuan analisi tersebut adalah:
Untuk mengetahui apa saja landasan tumpu pada analisis puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”.
Untuk mengetahui tema pada puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”.
Untuk mengetahui bahasa yang digunakan pada puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puisi
Puisi berasal dari bahasa Yunani Poiesis yang berarti penciptaan. Akan tetapi kata yang semula ini menjadi dipersempit ruang lingkupnya menjadi “hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan terkadang menggunakan kata kiasan.” Ralph Waldo Emerson memberi penjelasan bahwa “puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan serta alasan yang menyebabkannya ada karena bukannya irama melaikan argumen yang membuat iramalah (yaitu ide atau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi”. Selanjutnya Edgar Allan Poe membatasi “puisi kata sebagai kreasi keindahan yang berirama”. Sedangkan pendapat Watts-Dunton dan Lascelles Abercrombie “puisi adalah ekspresi yang konkret dan artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama”. Sedangkan menurut Lascelles Abercrombie “puisi adalah ekspresi dari pengalaman yang bersifat imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang memanfaatkan setiap rencana dengan matang-matang dan tepat guna”. Jadi dapat ditarik kesimpulan puisi adalah suatu bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran serta perasaan dari penyair dan secara imajinatif serta disusun dengan mengonsentrasikan kekuatan bahasa dengan struktur fisik serta struktur batinnya.
I.A Richards seorang kritikus sastra yang terkenal menunjukkan “suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan perpaduan dari tema penyair, (yaitu mengenainalisis inti pokok puisi itu), perasaannya (yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau objeknya) nadanya, (yaitu sikap sang penyair terhadap pembaca atau penikmatnya) dan amanat, (yaitu maksud atau tujuan sang penyair)”. Hakikat puisi menurut Umry (2014: 55) menyatakan “segala unsur puisi yang harus ada dalam puisi, hakikat puisi ini disebut dengan istilah catur tunggal (empat yaitu sanse/tema, feeling/rasa, tone, dan intention)”. Jika hakikat puisi dikenal dengan caturtunggal (empat yang satu), maka metode puisi dikenl dengan istilah pancatunggal (lima yang satu). Menurut Umry (2014: 61) “metode puisi terbagi menjadi lima yaitu pengimajian, kata/konkret, irama (ritme), gaya bahasa, dan diksi.”
B. Jenis-jenis Puisi
Secara umum dikenal dua jenis puisi:
1) Puisi lama (klasik)
puisi lama adalah jenis puisi yang susunan bahasanya sangat terikat oleh irama, mantra, rima, adapun penyusunannya terkait pada larik dan bait. Contoh puisi lama (klasik) adalah pantun, syair, gurindam dan soneta.
2) Puisi baru (modern)
Puisi baru adalah puisi yang penulisannya tidak lagi sepenuhnya patuh kepada aturan baris, bait, irama, dan rima. Puisi tersebut ditulis dengan corak yang lebih bebas. Penulisannya tampak seolah-olah sebagai prosa dan adapula yang disusun tanpa kata dan ditulis hanya berlandaskan pada unsur bunyi belaka.
Jenis-jenis puisi modern terbagi atas:
Puisi berpola adalah puisi yang susunan liriknya berupa bentuk geometris.
Puisi konkret adalah jenis puisi yang sangat membatasi penggunaan bahasa sajak dengan pola yang menarik perhatian pembaca dan menyarankan suatu keutuhan visual.
Puisi dramatik adalah jenis puisi yang memenuhi persyaratan yang dramatik. Kualitas dramatik diperoleh dengan menggunakan dialog, monolog, diksi yang kuat.
Puisi gelap adalah jenis puisi yang penulisannya sulit untuk dipahami. Isi sajak tersebut seperti tidak ada hubungan sama sekali antar satu kata dengan kata yang lain, antar satu baris dengan baris yang lain. Kesulitan sajak yang ditulis dengan cara demikian menyebabkannya disebut dengan puisi gelap.
Puisi kanak-kanak terdiri dari sejumlah larik yang dibacakan atau dinyayikan (untuk anak-anak) dan isinya mencakup soal berhitung, permainan, teki-teki pendidikan dsb.
C. Analisis Puisi Goenawan Muhammad “Asmaradana”
“Asmaradana”
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata. (Personifikasi)
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.(Metafora)
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi. (Ironi)
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.(Simbolik)
1) Landasan Tumpu
Goenawan Moehammad termasuk salah satu penyair yang mulai menciptakan puisi sejak awal tahun enam puluhan. Puisi-puisi Goenawan memiliki karakteristik yang menarik terutama pada penggunaan bahasanya yang mengandung simbol-simbol puitis. Di samping itu, keistimewaan pilihan tematiknya menyangkut manusia dalam bingkai perjalanan waktu menjadikan puisinya dapat berbicara banyak hal. Rawan dan gentingnya eksistensi manusia dalam waktu antara kesementaraan dan keabadian merupakan tema-tema yang dominan dalam puisi-puisi Goenawan Moehammad.
Goenawan Moehammad adalah penyair yang lahir di Batang, Jawa Tengah. Oleh karena itu, kebudayaan Jawa sedikit banyak telah mempengaruhi karya-karya yang dihasilkannya. Puisi di atas adalah buktinya. Sebagai sebuah puisi, “Asmaradana” pun tidak terlahir dengan sendirinya. Puisi tersebut adalah sebuah transformasi dari tembang tradisional Jawa yang juga berjudul “Asmaradana”.
“Ia” pada bait pertama sampai ketiga dan “Aku” pada bait terakhir menggantikan Darma Wulan. Pada bait pertama, terbaca bahwa Darma Wulan dan Anjasmara menjalani perpisahan dalam kesunyian. Bait tersebut dapat diartikan dengan jelas karena pada baris terakhir di bait tersebut tertulis /Tapi di antara mereka berdua/ tidak ada yang berkata-kata. Untuk lebih mengonkretkan kesan sunyi pada bait tersebut, dituliskan bahwa //kepak sayap kalelawar, tetes air dan bunyi langkah saja sampai terdengar.
Pada bait kedua dan ketiga, dijelaskan bahwa perang yang akan dilakukan oleh Darma Wulan sangat berbahaya. Akhir kematian tersurat dalam kedua bait tersebut. Pada bait ketiga tertulis /lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis/ sebab bila esok/ pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh/ ke utara. Dalam kepercayaan Jawa, utara merupakan lambang kematian karena orang Jawa, bila meninggal, dikubur dengan membujur ke utara.
Bait terakhir pada puisi di atas berisi pesan Darma Wulan untuk Anjasmara agar ia tetap kuat yang dinyatakan dalam kalimat / Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu. dan memasrahkan jalan hidup mereka pada berjalannya waktu yang dapat dibaca dalam kalimat / bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lalu Darma Wulan juga meminta Anjasmara untuk melupakannya dan Darma Wulan pun juga akan melupakan Anjasmara.
Kisah cinta antara Darma Wulan dan Anjasmara dalam puisi harus dipisahkan oleh takdir yang menyedihkan. Dari puisi di atas, kita dapat melihat ketegaran Anjasmara dalam menerima kepastian akan ditinggalkan kekasihnya untuk selama-lamanya. Tidak ada bagian yang memeperlihatkan larangan Anjasmara untuk Darma Wulan yang akan berperang bahkan ketika Darma Wulan telah melihat “peta nasibnya” yang memastikannya akan mati dalam perangnya melawan Minak Jingga. Pada bait keriga pun jelas disebutkan bahwa Anjasmara tidak akan menangisi kepergian Darma Wulan.
Melihat posisinya sebagai karya sastra, puisi “Asmaradana” membentuk landasan tumpu bahwa setiap hubungan kekasih pasti nantinya akan terpisah, baik oleh kematian atau pun takdir lainnya. Setiap kemungkinan terburuk harus diterima dengan sesiap mungkin. Takdir telah mengatur jalan hidup manusia dan tidak ada satu pun alasan untuk memungkiri takdir.
2) Tema
Asmaradana adalah sebuah tembang macapat dari Jawa, biasanya ditujukan untuk pemuda-pemuda yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Asmaradana dalam tembang macapat Jawa mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan Anjasmara. Goenawan Mohammad (GM) memang menulis puisi dalam tema yang luas. Kadang ia membahas tentang politik, perjuangan, sosial, tapi juga kadang membahas tentang hidup dan cinta. Puisi Asmaradana ini menangkap momen ketika Anjasmara berpisah dengan Damarwulan, kekasihnya. GM melukiskan perpisahan itu dengan menyayat hati dan kepasrahan total. GM melukiskan perpisahan ini dengan menggambarkan latar alam yang suram sekaligus romantik. Suasana sehabis hujan pada malam hari mempunyai misteri magis tersendiri untuk perasaan kita: dingin, mencekam, suram.
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang asmara. Lebih dari itu, ia berbicara tentang kehidupan. Puisi ini mendorong seorang lelaki untuk gagah berani maju berperang untuk membela negara walaupun untuk itu ia harus tewas dan meninggalkan keluarganya yang tenang tenteram. Puisi ini juga mengajak agar para istri rela melepas suaminya untuk berjuang, walaupun untuk itu ia harus siap mendengar kabar kematian atau suaminya menikah dengan perempuan lain. Selain itu, puisi Asmaradana juga bermain dengan takdir. Hidup tidaklah selamanya mulus. Ada saat-saat di atas dan ada pula saat-saat di bawah. Ketika kita menghadapi saat-saat yang buruk dan tanpa harapan, kita harus tetap melangkah dengan tegar dan menghadapinya dengan hati yang lapang. Kita harus memainkan peran kita sebaik mungkin dalam hidup ini sampai kita mati. Secara tidak langsung, puisi ini membuat kita semakin menghargai arti kehidupan, perpisahan, keluarga, dan cinta.
Puisi GM seringkali mengambil latar mitos. Ini adalah suatu perlawanan akan “keterlupaan sejarah” akut yang melanda negeri ini. Seolah-olah GM menyindir Indonesia bahwa dirinya masih menguasai kisah-kisah klasik dan menantang apakah kita bisa memahami puisinya atau tidak. Saat kita tidak memahami konteks budaya dan sejarah puisi ini (tentang kisah Damarwulan dan Anjasmara), GM tertawa sinis akan kebutaan kita tau tentang budaya dan sejarah negeri kita sendiri. Jadi dapat disimpulkan Puisi ini bertemakan tentang perpisahan antara Darma Wulan dengan Anjasmara.
3) Bahasa
Bait pertama terdapat kata ganti orang ketiga. Kata ganti ini digunakan oleh penyair untuk memunculkan efek sudut pandang. Sehingga puisi tidak sekedar memunculkan efek dan makna secara umum. Penggunaan kata ganti ia pada bait pertama ini, menggambarkan tokoh yang diangkat dalam puisi ini. Penyair pada kalimat terakhir menggunakan frasa mereka berdua, yang sebelumnya tidak diungkapkan. Sehingga pembaca akan sedikit kesulitan memahami bait pertama puisi ini, karena awalnya hanya disebutkan kata ganti orang ketiga tunggal, yaitu kata ia.
Pemilihan diksi pada bait pertama ini tergolong mudah untuk dipahami. Tetapi untuk beberapa frasa ada yang sedikit sulit dipahami oleh orang awam, misalnya pada frasa resah kuda. Kata resah dapat diartikan sebagai perasaan gundah dan tidak enak dalam hati karena sesuatu hal. Tetapi pada bagian ini diikuti oleh kata benda kuda. Pada frasa resah kuda ini dapat dimaknai sebagai bentuk perasaan gundah yang dialami oleh seekor kuda. Frasa ini juga diperjelas oleh bagian berikutnya dalam kalimat ini.
Bait kedua puisi ini menggunakan beberapa kata yang mempunyai arti tidak berhubungan. Pada kalimat kedua misalnya //Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan// terdapat kata peta, nasib, perjalanan, sebuah peperangan. Kata-kata ini juga dilihat secara sepintas tidak mempunyai hubungan makna antara satu kata dengan kata yang lain. Tetapi juga dipahami dengan melihat latar belakang kemunculan puisi ini, kata-kata ini dapat dimaknai dan mempunyai hubungan antara satu kata dengan kata yang lain. Kata-kata ini dapat dimaknai sebagai sebuah petunjuk atas akibat yang dialami setelah peperangan. Pada bait kedua ini, pengarang masih menggunakan sudut pandang orang ketiga.
Bait ketiga puisi ini tidak menggunakan kata-kata yang sulit dipahami. Berbeda dengan dua bait sebelumnya yang menggunakan diksi kurang bisa dimengerti oleh pembaca awam, pada bait ini penyair memilih diksi yang mudah dimengerti dan disusun menjadi kalimat yang mudah dipahami maknanya oleh pembaca. Misalnya pada kalimat //Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis// menggunakan diksi yang mudah dipahami secara umum oleh pembaca.
Bait terakhir puisi ini menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh pembaca, tetapi penyair memanfaatkan beberapa majas untuk memantapkan bait terakhir ini. Majas yang digunakan oleh penyair antara lain terdapat pada bagian //Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu// yang mempunyai makna mengenai perputaran waktu yang terasa sangat lambat bagi tokoh di dalam puisi ini. Pada bait terakhir ini juga digunakan kata sapaan yang disisipkan di tengah kalimat dengan penanda jeda menggunakan tanda koma. Berikut kutipannya:
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.
Penggunaan kata ganti pada puisi ini untuk menandakan pada siapa puisi ini ditujukan. Tokoh utama pada puisi ini adalah aku lirik, yaitu kekasih Anjasmara. Penggunaan kata ganti ia pada puisi ini menunjuk pada orang ketiga yang merupakan subjek tujuan puisi ini. Kata ganti ia merupakan penunjuk pada tokoh Anjasmara dalam puisi ini.
Analisis lapis arti ini akan membahas mengenai bagaimana pemaknaan secara harfiah sebuah puisi. Secara harfiah puisi Asmaradana karya Goenawan Muhamad adalah sebagai berikut:
Bait pertama menggambarkan tokoh ia dan kekasihnya saling diam ketika mereka mendengar kepakan sayap kelelawar serta suara hujan yang mengguyur daun kemuning yang ditimbulkan oleh angin. Tokoh ia mendengar suara kuda dan langkah kuda yang ditimbulkan oleh pedati ketika suasana lagit cerah tanpa awan.
Bait kedua mengisahkan ketika tokoh ia mengucapkan kata perpisahan kematian saat ia mengetahui bagaimana nasib perjalanan setelah diadakan peperangan. Bait ketiga tokoh ia tahu apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu. Kekasihnya tidak akan menangis karena jika keesokan harinya setelah pertemuan itu ada jejak pada halaman rumah yang menuju arah utara, kekasihnya itu tidak akan mencari tahu siapa mereka, karena ia tidak akan berani melakukan itu.
Pada bait terakhir ini, penyair mengungkapkan mengenai pesan yang diberikan oleh tokoh ia kepada pada kekasihnya. Tokoh ia diubah menjadi tokoh aku lirik pada bait terakhir ini. Tokoh aku lirik mengatakan kepada kekasihnya, yaitu Anjasmara, mengenai apa yang ia inginkan terhadap kekasihnya itu. Aku lirik menginginkan kekasihnya untuk tetap seperti dulu. Aku lirik juga mengatakan jika terjadi sesuatu maka lama kelamaan kekasihnya akan melupakan dirinya dan dirinya pun akan melupakan kekasihnya itu.
a. Personifikasi
Personifikasi adalah majas yang memberikan sifat-sifat manusia pada benda mati.
Contoh pada puisi “Asmaradana” : sayap kelelawar
dan guyur sisa hujan dari daun
angin pada kemuning
resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih
b. Metafora
Metafora adalah melukiskan sesuatu dengan perbandingan langsung dan tepat atas dasar sifat yang sama atau hampir sama. Dalam pengertian yang lain, majas metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata yang bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Ciri majas ini adalah menggunakan kata kata kiasan dan terdapat pilihan kata yang menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Contoh : ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan
paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu dengan menunjukkan suatu titik kesejajaran atau sering berupa kalimat –kalimat perulangan yang bertujuan untuk mensejajarkan makna dari gagasan yang ingin diutarakan oleh penutur.
Contoh :
Lalu ia = bait ke dua dan ke tiga
d. Ironi
Ironi adalah majas yang mengungkapkan sindiran halus.
Contoh : perempuan itu tak akan menangis
bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara
e. Simbolik
Simbolik, menggunakan simbol berupa hewan atau tokoh atau lambang atau benda benda tertentu yang dapat menggantikan kata yang ingin diutarakan. Penggunaan simbol-simbol ini menggantikan kata gagasan yang ingin diutarakan, simbol yang dipakai ialah simbol yang memang telah dikenal untuk menggambarkan sesuatu baik oleh penutur maupun lawan bicara. Penggunaan kalimat simbolik ini dapat menyampaikan hasrat penutur untuk mengkritik atau beropini terhadap sesuatu atau seseorang secara halus, karena digambarkan dengan simbol-simbol yang artinya maknanya terkandung secara implisit.
Contoh : adikku, Bulan, Angin
Source : manfredrichter
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Puisi adalah suatu bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran serta perasaan dari penyair dan secara imajinatif serta disusun dengan mengonsentrasikan kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik serta struktur batinnya. Terdapat dua Jenis Puisi yaitu puisi Puisi lama (klasik) dan Puisi baru (modern). Berdasarkan analisis puisi Goenawan Mohammad “Asmaradana” diatas maka dapat dianalisis berdasarkan landasan tumpu si pengarang, Tema yang terdapat pada puisi tersebut dan gaya bahasa pada setiap bait puisi tersebut.
Puisi Asmaradana karya Goenawan Muhamad menceritakan mengenai perpisahan antara Anjasmara dan Damar Wulan. Tokoh ia atau aku lirik menggantikan tokoh Damar Wulan yang ada dalam suasana kebimbangan. Damar Wulan dengan berat hati menerima tugas mulia sebagai panglima perang melawan Minak Jingga. Ia telah membaca peta nasibnya dan telah pula mengukur kemampuannya melawan Minak Jingga. Hanya satu kata yaitu kematian yang akan didapatkannya karena Minak Jingga memiliki pusaka sakti. Oleh karena itu, ketika Anjasmara terlena atau tidur dalam pangkuannya, Damar Wulan perlahan-lahan pergi melangkah meninggalkan sang kekasih. Sebelum meninggalkan kekasihnya itu, Damar Wulan mengucap dalam hati salam perpisahan terhadap Anjasmara.
Wah, jadi pemakalah juga ternyata. Keren.
Yang lama2 di share,, ya mana tau ada yg membutuhkan
mantul ini bisa jadi referensi buat yang pingin bikin PTK atau skripsi
Semoga bisa membantu yg membutuhkan,, salam sukses
makalah kuliah pasti sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang mencari referensi.
weh haha meskipun ga ngrti banget utk tau kualitas puisi. tpi mungkin utk anak yg bergelut dibidang ny bisa bermanfaat
Ya ampun… Ada makalah yang bahas puisi dan prosa. Nah, ini pasti sering dicari mereka yang butuh.
Semoga bermanfaat ya Kakak.
Sukses dan terima kasih.
iya mas,,, ini buat siapa yang membutuhkan,,
bener sekali,,, siapa tau ada yang membutuhkan
iya mbak.. semoga bermanfaat bagi yang membutuhkan.. salam sukses
Blog ini bahas puisi juga ya? W kurang tahu soal puisi :v baca puisi aja w gak bisa :v
iya mas,, sebagai bahan buat yg membutuhkan saja,, hehehe