Sosiolinguistik Tentang Sikap Bahasa (Tugas Kuliah)

Diposting pada
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sosiolinguistik menempatkan bahasa sebagai bagian dari sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam berbagai situasi. Interaksi sosial tersebut akan hidup berkat adanya aktivitas bicara pada anggota pemakai bahasa. Aktivitas bicara itu akan lebih berhasil apabila didukung oleh alat-alat dan faktor lain yang turut menentukannya, antara lain faktor situasi.

Perilaku berbahasa dan sikap berbahasa merupakan dua hal yang erat hubungannya, yang dapat menentukan pilihan bahasa serta kelangsungan hidup suatu bahasa. Perilaku berbahasa adalah sikap mental seseorang dalam memilih dan menggunakan bahasa. Pada dasarnya seseorang bebas memilih bahasa dan bebas pula menggunakan bahasa itu. Kebebasan ini merupakan bagian tertentu dari hak asasi manusia. Meskipun seseorang bebas memilih dan menggunakan bahasa lebih-lebih di era globalisasi ini, kita tetap harus menyadari apa yang diingatkan oleh Kamaruddin (2007) bahwa diera globalisasi ini kita diterpa oleh konsep dan kosa kata asing demikian dahsyatnya, alat kebahasaan, alih kode, campur kode, penyerapan, dan transfer, tetapi kita tidak akan begitu saja menyerah pada dominasi kebudayaan asing. Semua hal itu sebaiknya dijadikan sebagai proses menuju pengungkapan jati diri sistem bahasa Indonesia. Terpaan pengaruh budaya asing serta bahasa asing (bahasa Inggris) yang sangat kuat menuntut peningkatan kemampuan daya tahan dan daya kembang budaya dan bahasa Indonesia.

Situasi kebahasaan di Indonesia memang amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, di samping bahasa Indonesia, dipakai juga bahasa-bahasa daerah, dan bahasa asing tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. Situasi kebahasaan di Indonesia seperti itu, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapat disebut bilingualisme secara kemasyarakatan.

Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/ multilingualisme.

Di Indonesia, fenomena tersebut hidup dan tumbuh secara subur. Bahkan dewasa ini, muncul bahasa yang hanya digunakan oleh kelompok atau kalangan tertentu tidak dapat dihindarkan, yaitu bahasa gaul. Semua fenomena sikap dan perilaku serta variasi berbahasa seperti bahasa gaul tersebut memberikan banyak sekali ruang dan peluang bagi para pemerhati bahasa lebih-lebih peneliti bahasa untuk dapat mengkaji lebih jauh mengenai aspek bahasa dalam tinjauan sosiolinguistik.

Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Dari persfektif sosiolingustik fenomena sikap bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bangsa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1) Pengertian Bahasa
2) Sikap Bahasa

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan tujuan tersebut adalah:
1) Untuk mengetahui apa pengertian bahasa dan
2) Mengetahui pemakaian sikap bahasa

BAB II 
PEMBAHASAN
 
A. SIKAP BAHASA
1. Pengertian Sikap Bahasa
Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sikap bahasa dapat dikatakan sebagai  anggapan atau pandangan seseorang terhadap suatu bahasa, apakah senang atau tidak terhadap bahasa tersebut, sehingga sikap bahasa mempengaruhi terhadap pemilihan bahasa.
Lambert menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Dengan penjelasan sebagai berikut:
  • Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan dan gagasan yang digunakan dalam proses berfikir.
  • Komponen afektif menyangkut masalah penilaian suka atau tidak suka terhadap sesuatu.
  • Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir melalui komponen inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap keadaan yang dihadapinya.
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
 
2. Ciri-ciri Sikap Bahasa
Sikap merupakan kontributor utama bagi keberhasilan belajar bahasa. Garvin dan Mathiot (1968) mengemukakan sikap bahasa itu setidak-tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu:
  • Kesetiaan bahasa (Language loyality). Kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat mendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu bahkan kalau perlu mencegahbya dari pengaruh bahasa lain.
  • Kebanggaan bahasa (language pride). Kebangaan bahasa mendorong seseorang atau masyarakat pendukung bahasa itu untuk menjadikannya sebagai penanda jati, lambang indentitas dan kesatuan masyarakat.
  • Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Cenderung untuk mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan satuan.
3. Jenis-jenis Sikap Bahasa
Sikap pada umumnya bahwa selalu memiliki dua sisi. Sisi jelek dan sisi baik. Begitu juga dengan sikap bahasa. Sikap bahasa ada dua yaitu sikap positif dan sikap negatif.

Sikap Positif

Sikap positif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah laku yang tidak bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku. Sedangkan sikap positif bahasa adalah penggunanaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasan. Sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan. Hal-hal yang menunjukkan sikap positif seseorang terhadap bahasanya antara lain:
  1. memakai bahasa sesuai dengan kaidah dan situasi kebahasaan.
  2. memakai bahasa sendiri tanpa dicampur dengan bahasa asing walaupun lawan bicara mengerti maksud pembicaraan tersebut, alangkah lebih baik menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan sikap seperti itu berarti kita bangga akan bahasa kita sendiri.
  3. memakai bahasa sesuai dengan keperluan
Dalam pergaulan sosial, kita mungkin menghadapi beragam keperluan pula. Pergaulan antarbangsa, misalnya, kadang-kadang menuntut pemakaian bahasa yang sesuai dengan kemampuan orang yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, bahasa yang lain atau bahasa asing kadang-kadang diperlukan untuk keperluan itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia untuk keperluan tertentu tidak perlu dipandang sebagai cerminan rasa kebangsaan yang rendah. Ketiga hal di atas merupakan contoh sikap postif terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif hanya akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa setia untuk memelihara dan mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri. Adul (1986: 44) berpendapat bahwa pemakai bahasa bersifat positif ialah pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang baik dan benar, dengan wajar dan sesuai dengan situasi. Dittmar, (dalam Suwito, 1996: 31) memperlihatkan sikap positip adalah:
  1. Keberhasilan suatu bangsa yang multilingual dalam menentukan salah satu bahasa yang dijadikan sebagai bahasa nasional dari sejumlah bahasa yang dimiliki bangsa tersebut;
  2. Kecermatan pemakaian bentuk bahasa dan struktur bahasa serta ketepatan dalam pemilihan kata yang di pergunakan oleh pemakai bahasa;
  3. Sejauhnya mengurangi atau manusia, menghilangkan sama sekali warna bahasa daerah atau dialeknya dalam berbahasa nasional.
Garvin dan Marthiot (dalam Suwito, 1996: 31) mengemukakan ciri-ciri pokok sikap berbahas positif yaitu: Kesetiaan bahasa, Kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Menurut Sumarsono (2002: 363), dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah topik pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial pemakai bahasa, kelompok umur, jenis kelamin dan situasi pemakaian. Apabila seseorang petani, termasuk kelompok etnik Jawa, tetapi sekaligus juga pemakai Bahasa Indonesia, termasuk golongan dewasa dan tua, tentang upacara pengantin khas Jawa, dalam situasi resmi khas Jawa, ia akan cenderung memilih bahasa Jawa yang baku daripada Bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya sikap positif terhadap bahasa yang dipilihnya. Sebaliknya, apabila ia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas sosial tinggi, tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan elite, dia akan cenderung memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara perkawinan. Hal ini menunjukkan sikap terhadap Bahasa Jawa tidak positif lagi.Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang yang cenderung memakai suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik, mengenai ketepatan pilihan kata maupun kebakuan kaidah gramatikalnya serta kejelasan, keruntunan jalan pikirannya.Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi perbendaharaan bahasa.Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa yang mengatasi dialek-dialek.
Sikap Negatif
sikap negatif bahasa akan menyebabkan orang acuh terhadap pembinaan dan pelestarian bahasa. Mereka menjadi tidak bangga lagi memakai bahasa sendiri sebagai penanda jati diri bahkan mereka merasa malu memakai bahasa itu. Dalam keadaan demikian orang mudah beralih atau berpindah bahasa, biasanya dalam satu masyarakat bilingual atau multilingual terjadi beralih bahasa kepada yang lebih bergengsi dan lebih menjamin untuk memperoleh kesempatan disektor  modern dan semacamnya.
Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa.
Adul (dalam Purba, 1996: 35) mengemukakan bahwa pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak mempedulikan situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam kesalahan berbahasa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut. Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku. Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
  1. Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/ banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
  2. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual. Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi/ campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
Adul (1986: 44), berpendapat pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak memperdulikan situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam berbahasa. Sikap negatif terhadap bahasa merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap bahasa nasionalnya. Ia akan beranggapan bahwa bahasa orang lain lebih baik dari bahasa nasional sehingga timbul sikap negatif terhadap bahasa.
Garvin dan Marthiot, (dalam suwito, 1996: 33) memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu:
  1. Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama sekali.
  2. Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
  3. Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota masyarakat sampai kepada ketidak sadaran akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku berbahasanya. Mereka tidak ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat bahasanya dan santun bahasanya.
Moeliono (dalam Antilan, 1996: 34) memberikan rincian tentang sikap bahasa negatif, yaitu:
  1. Sikap yang meremehkan mutu sejajar dengan sikap bahasa orang yang sudah puas dengan mutu bahasa yang tidak perlu tinggi, asal saja dimengerti.
  2. Sikap yang suka menerobos terpantul dalam sikap bahasa yang merasa dapat memperoleh kemahiran tanpa bertekun.
  3. Sikap harga tuna diri dapat disaksikan perwujudannya dalam sikap bahasa orang yang dalam hati kecilnya beranggapan bahwa beranggapan bahwa bahasa lain lebih bergengsi dan lebih bermutu.
  4. Sikap yang menjauh disiplin tercermin pada sikap bahasa orang yang tidakmerasa mutlak mengikuti kaidah bahasa.
  5. Sikap yang enggan memikul tanggung jawab koleratif bahasanya terungkap dalam ucapan, apa yang salah kaprah lebih di terimasaja kerana kita semua bersalah. Lagi pula masalah kebahasaan itu belum perlu diprorioritaskan karena masih banyak masalah lain yang lebih penting dan perlu diatasi lebih dahulu.
  6. Sikap yang suka melatah dapat di saksikan dalam sikap bahasa orang yang mengambil alih diksi dari bahasa muktahir tanpa kritik.
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang. Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
  1. Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
  2. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual. Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
Garvin dan Marthiot, (dalam suwito, 1996: 33) memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu:
  1. Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama sekali.
  2. Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
  3. Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota masyarakat sampai kepada ketidak sadaran akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku berbahasanya. Mereka tidak ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat bahasanya dan santun bahasanya.
Moeliono (dalam Antilan, 1996: 34) memberikan rincian tentang sikap bahasa negatif, yaitu:
  1. Sikap yang meremehkan mutu sejajar dengan sikap bahasa orang yang sudah puas dengan mutu bahasa yang tidak perlu tinggi, asal saja dimengerti.
  2. Sikap yang suka menerobos terpantul dalam sikap bahasa yang merasa dapat memperoleh kemahiran tanpa bertekun.
  3. Sikap harga tuna diri dapat disaksikan perwujudannya dalam sikap bahasa orang yang dalam hati kecilnya beranggapan bahwa beranggapan bahwa bahasa lain lebih bergengsi dan lebih bermutu.
  4. Sikap yang menjauh disiplin tercermin pada sikap bahasa orang yang tidak merasa mutlak mengikuti kaidah bahasa.
  5. Sikap yang enggan memikul tanggung jawab koleratif bahasanya terungkap dalam ucapan, apa yang salah kaprah lebih di terimasaja kerana kita semua bersalah. Lagi pula masalah kebahasaan itu belum perlu diprorioritaskan karena masih banyak masalah lain yang lebih penting dan perlu diatasi lebih dahulu.
  6. Sikap yang suka melatah dapat di saksikan dalam sikap bahasa orang yang mengambil alih diksi dari bahasa muktahir tanpa kritik.
4. Penggolongan Sikap Bahasa
Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang dwibahasawan atau multibahasawan. Seperti diutarakan oleh Dittmar (1976: 181) bahwa sikap ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu. Hal ini nampak ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela mengenyampingkan bahasa kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.
Sikap bahasa itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada tanggung jawab dan penghargaannya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib (Pateda, 1987: 30). Spolsky (1989: 149) menyatakan bahwa seseorang yang mempelajari suatu bahasa dilatarbelakangi oleh sikapnya terhadap bahasa yang dipelajarinya, sikap itu meliputi 1) sikap terhadap tujuan praktis penggunaan bahasa target, dan 2) sikap pada orang yang menggunakan bahasa target. Anderson dalam Halim (1974: 71) mengemukakan bahwa sikap bahasa itu dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politis, sikap keagamaan, dan lain-lain.
 
B. ANALISIS SIKAP BAHASA DALAM FORUM RESMI
1. Analisis Video :
Debat Hotman Paris Hutapea di Salah Satu Stasiun Tv
Video yang berdurasi kurang lebih 5 menit memfokuskan pada sikap bahasa pengacara kondang yaitu Hotman Paris Hutapea. Dalam sebuah acara televisi yang membahas kisah kematian Mirna karena racun sianida. Video tersebut dengan lugas menjelaskan sikap bahasa Hotman Paris Hutapea dalam satu keadaan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan :
“Pakai suara hati kalian, hanya Tuhan yang tahu kapan racun dimasukkan. Diperkirakan racun dimasukkan antara 16.40 – 16.45. Teori Rating Awis mendasari itu. Itu rangkaian peristiwa fakta jika anda belajar. Ilmu mana bisa, kecuali ilmu goblok”
Beberapa menit kemudian, Hotman kembali menunjukkan sikap bahasa negatif terhadap bahasa Indonesia.
“ Asal ngomong aja ini orang. Lu ngacok bener, saksi melulu, darimana lu tau lu salah, lu dodol disitu”

Baca Juga :  6 Kiat Cara Menjadi Youtuber yang Sukses

Berdasarkan teori Garvin dan Mathiot, Sikap merupakan kontributor utama bagi keberhasilan belajar bahasa. Garvin dan Mathiot (1968) mengemukakan sikap bahasa itu setidak-tidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu:

  1. Kesetiaan bahasa (Language loyality). Kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat mendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu bahkan kalau perlu mencegahbya dari pengaruh bahasa lain.
  2. Kebanggaan bahasa (language pride). Kebangaan bahasa mendorong seseorang atau masyarakat pendukung bahasa itu untuk menjadikannya sebagai penanda jati, lambang indentitas dan kesatuan masyarakat.
  3. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Cenderung untuk mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan satuan.
Teori Garvin dan Mathiot menjadi tolak ukur sikap bahasa. Sikap bahasa yang ditunjukkan Hotman Paris Hutapea berciri negatif terhadap bahasa Indonesia. Hotman tetap menggunakan bahasa Indonesia tetapi dalam penggunaan bahasa Indonesia terdapat unsur yang tidak sesuai dengan norma bahasa seperti kata : lu, goblok, ngacok, melulu, dll. Makna dari kata mungkin dapat dimengerti tetapi sikap bahasa yang digunakan Hotman bercorak negatif terhadap bahasa Indonesia. Hal itu dapat dijelaskan dengan teori yang dikemukakan Moeliono (dalam Antilan, 1996: 34) memberikan rincian tentang sikap bahasa negatif, yaitu:
  1. Sikap yang meremehkan mutu sejajar dengan sikap bahasa orang yang sudah puas dengan mutu bahasa yang tidak perlu tinggi, asal saja dimengerti.
  2. Sikap yang suka menerobos terpantul dalam sikap bahasa yang merasa dapat memperoleh kemahiran tanpa bertekun.
  3. Sikap harga tuna diri dapat disaksikan perwujudannya dalam sikap bahasa orang yang dalam hati kecilnya beranggapan bahwa beranggapan bahwa bahasa lain lebih bergengsi dan lebih bermutu.
  4. Sikap yang menjauh disiplin tercermin pada sikap bahasa orang yang tidak merasa mutlak mengikuti kaidah bahasa.
  5. Sikap yang enggan memikul tanggung jawab koleratif bahasanya terungkap dalam ucapan, apa yang salah kaprah lebih di terimasaja kerana kita semua bersalah. Lagi pula masalah kebahasaan itu belum perlu diprorioritaskan karena masih banyak masalah lain yang lebih penting dan perlu diatasi lebih dahulu.
  6. Sikap yang suka melatah dapat di saksikan dalam sikap bahasa orang yang mengambil alih diksi dari bahasa muktahir tanpa kritik.
Sikap bahasa yang sudah puas dengan mutu bahasa yang dimiliki sering kali kita temukan dalam masyarakat. Dalam penelitian ini kita juga temukan. Hal yang penting yaitu pemahaman khalayak tentang makna ucapannya, tanpa mempertimbangkan kesetiaan penutur pada bahasa yang digunakannya. Penutur seringkali merasa mahir dalam berbahasa tanpa bertekun. Bahasa lain yang digunakan dianggap lebih dapat menekankan makna dalam bahasa. Adanya mental yang tidak mengharuskan mengikuti kaidah bahasa menyebabkan penggunaan bahasa menjadi bercampur. Sementara jika terdapat kritik terhadap sikap bahasa yang negatif, kebanyakan individu atau kelompok akan merasa pengubahan sikap bahasa ke arah positif dianggap tidak terlalu penting dan banyak hal penting yang harus diprioitaskan.
 
BAB III 
KESIMPULAN
Sikap bahasa merupakan gejala kejiwaan yang tidak bisa diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur, tetapi tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Sedangkan perilaku berbahasa adalah sikap mental seseorang dalam memilih dan menggunakan bahasa.
Perilaku berbahasa dan sikap berbahasa merupakan dua hal yang erat hubungannya, yang dapat menentukan pilihan bahasa serta kelangsungan hidup suatu bahasa.
Perilaku bahasa yang negatif ini berdampak buruk terhadap penggunaan bahasa Indonesia khususnya ragam baku, yaitu penggunaan ragan baku oleh kelompok menengah masyarakat tertentu yang masih sangat rendah. Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, masyarakat Indonesia cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal tersebut memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari semakin tinggi. Dan yang lebih parah makin berkembangnya bahasa gaul yang mencampuradukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai bahasa dan objek bahasa tertentu, yang memberikan kecenderungan kepada seseeorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur.
Ciri-ciri adanya sikap bahasa ditandai oleh hal-hal berikut (1) pemilihan bahasa yang tepat khususnya bagi yang tinggal di daerah atau masyarakat multilingual, (2) distribusi perbendaharaan bahasa, (3) perbedaan dialektikal, (4) perbedaan yang timbuk akibat interaksi antara individu, (5) kesetiaan bahasa, (6) kebanggaan bahasa, dan (7) kesadaran akan norma bahasa. Seperti sikap pada umumnya bahwa selalu memiliki dua sisi. Sikap bahasa juga memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, yaitu sikap bahasa positif dan sikap bahasa negatif. Sikap negatif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah laku yang bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku. Sementara sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasan dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm).
Sosiolinguistik Tentang Sikap Bahasa
Source : reichdernatur
Baca Juga :  Lokasi Foto Sekaligus Wisata Paling Ramai Dikunjungi di Labura
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henari Offset Solo.
Baca Juga : Karakteristik Pemerolehan Bahasa Pertama

4 komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *